Ketika bahasa Indonesia dilarang dalam percakapan resmi dan segala atribut kebangsaan dilarang digunakan dan tidak pernah melihat bendera Merah Putih berkibar setiap pagi hari bahkan upacara pengibaran Merah Putih hanya dua kali setahun membuat diri ini seperti berada diluar negri.
Negeri nan damai diplosok desa lereng Gunung Lawu itu dipenuhi oleh Santri dari penjuru negri dan negara-negara didunia, bagai sebuah negri kecil multi-etnis dengan Islam sebagai asasnya.
Persaudaraan antar etnis antar bangsa disatukan dengan prinsip Ukhuwwah Islamiyah tanpa diganggu oleh embel-embel kedaerahan. Bahasa Arab dan Bahasa Inggris sebagai bahasa pemersatu dan Qur'an dan Hadits sebagai dasar dalam menjalani hidup.
Ketika koran Republika berbahasa Indonesia yang terpajang dietalase-etalase yang tersebar disudut-sudut pondok memberitakan berbagai konflik antara Indonesia dan negri jiran, dari penghinaan Habibie, penyiksaan TKI sampai pelanggaran tapal batas yang dibaca oleh Santri kedua negara tidak akan mampu membuat hubungan antar Santri kedua negara ini rusak atau menimbulkan konflik dan perdebatan seperti didunia maya.
Semangat persaudaraan muslim tak akan tergoyahkan oleh hal kecil yang memprovokasi yang dapat merusak hubungan antar kedua jiran yang mayoritas muslim ini.
Bahkan untuk pertandingan bola kawasan Asia Tenggara apabila ada tim Indonesia bertanding dengan tim dari Thailand atau Malaysia, dua negara luar dengan Santri mayoritas bertanding. Kami biasa menonton bersama di layar lebar dengan antusias. Dengan persyaratan diam dalam menonton bola tidak ramai ketika goal membuat pertandingan yang ditonton Santri kedua negara berjalan sangat damai dan penuh suka cita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar